Rabu, 24 November 2010

KONSELING KELOMPOK BAGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS MELALUI TERAPI REALITAS

KONSELING KELOMPOK BAGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS MELALUI TERAPI REALITAS

(Group Conseling of Individu with Special Needs with Reality Therapy)

A. Pendahuluan

Sistem pendidikan yang bercirikan pengertian terhadap kebutuhan yang berbeda dari inidividu ataupun masyarakat tertentu sebagaimana menjadi arti dari peradaban baru memerlukan keterarahan yang dapat mewujudkan nilai baru …. Shift in global consciusness ikut berkontribusi mewujudkan cooperation masyarakat yang demokratis dan partisipatoris. Ini berarti bahwa pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya.

Mengingat manusia pada suatu pihak memiliki kemampuan yang tiada terbatas untuk berkembang dan pada pihak lain, pembelajaran dapat memberlakukan berbagai metode yang memiliki peluang jamak dan saluran jamak dalam proses pendidikan itu sendiri (mulitiple channel and multi chance of education), maka hak individu untuk berpartisipasi dan belajar sesuai dengan kemampuannya seharusnya dapat terpenuhi.

Tugas Bimbingan Konseling (BK) adalah membuka kemampuan tersembunyi (unlock the hidden capacity) yang pada individu gifted bersifat multipotensial dan memiliki untuk mewujudkan seoptimal mungkin melalui sharing of information untuk menjadi manusia yang bukan saja pintar, tetapi kreatif, kritis, dan memiliki ketahanan malangan (adversity quotient atau AQ) yang tinggi.

Paradigma pendidikan multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan siswa sebagai individual yang belajar bersama dengan yang lain dalam suasana saling menghormati; toleransi pengertian. Namun ini baru terjadi jika setiap individu atau kelompok siswa memiliki identitas diri (selfhood) untuk diakui, diterima, dan dihargai.

BK merupakan upaya untuk membantu siswa agar dapat memanfaatkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin melalui berbagai bentuk layanan, baik layanan yang bersifat individual maupun layanan yang bersifat kelompok. Dalam upaya memanfaatkan potensi yang mereka miliki secara optimal, siswa (klien) senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan mereka yang berkenaan dengan masalah pribadi, sosial, pendidikan, dan karir.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi siswa memerlukan ketepatan dan ketelitian dari guru pembimbing dalam menentukan jenis layanan yang sesuai dengan permasalahan mereka. Efektivitas dan efisiensi dalam membantu siswa merupakan pertimbangan penting dalam memilih layanan yang sesuai. Dilihat dari proses penyelenggaraannya, layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan yang banyak memberikan manfaat baik kepada siswa maupun kepada guru pembimbing, karena selain beberapa orang siswa dapat terbantu, beberapa fungsi bimbingan juga dapat tercapai dalam layanan ini.

Dalam UU SPN Nomor 2/1989 pasal 12 ayat (b) dijelaskan bahwa konseling sebagai komponen pendidikan mempunyai peranan yang besar dalam rangka memenuhi hak peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

BK merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran (subjek penerima layanan), tujuan, kondisi, dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas, walaupun pada akhirnya dalam proses BK terjadi perubahan dalam kondisi maupun metodologi yang digunakan, asalkan tujuan yang hendak dicapai dalam BK baik individual maupun kelompok dapat tercapai.

Tulisan mengenai terapi realitas (reality therapy) akan memperkaya khasanah kajian aplikatif teoretis terhadap layanan BK bagi individu berkebutuhan khusus. Dalam tulisan ini juga diharapkan dapat membantu dalam memahami suatu teori, memahami bagaimana suatu teori digunakan dalam praktek dan bagaimana suatu teori dapat saling melengkapi satu sama lain sehingga benar-benar dapat bermanfaat dalam pengembangan keilmuan.

Pembinaan penyesuaian emosi dan sosial, merupakan hal yang sangat penting sehubungan dengan sejumlah tantangan sosial yang dialami anak berkebutuhan khusus yang memasuki kelas sekolah reguler, antara lain; (1) anak berkebutuhan khusus karena datang dari lingkungan sosial yang miskin, mengakibatkan anak mengalami gangguan belajar atau gangguan emosi yang serius; (2) perbedaan fisik yang secara jelas bagi anak berkebutuhan khusus, mengakibatkan penolakan atau pemisahan sosial; (3) adanya kecacatan yang dialami anak berkebutuhan khusus mengakibatkan ia sendiri merasa tidak sesuai dengan sikap-sikap dari teman-teman yang lain; (4) kurangnya pengalaman dengan teman-teman sebayanya dalam pendidikan umum karena mereka berada di kelas pendidikan khusus, sehingga untuk memperoleh keterampilan-keterampilan sosial dengan teman-teman seusianya sangat terbatas (Tarver, 1998).

Terapi realitas adalah terapi yang didasarkan atas ide empiris individu yang bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan untuk mencapai keberhasilan. Terapi ini berjangka pendek dan memfokuskan pada kekinian, menekankan pada kekuatan seseorang. Terapi realitas dapat diaplikasikan dalam konseling individual maupun kelompok, dan biasa digunakan di sekolah-sekolah, rumah sakit, juga tempat-tempat rehabilitasi termasuk rumah tahanan, rumah-rumah kumuh, dan sebagainya.

Terapi realitas dalam adegan kelompok menantang peserta didik (klien) untuk menguji produktivitas prilaku mereka dan perubahannya, ketika perlu melalui perencanaan dan pencapaian keberhasilan mereka. Terapi realitas adalah suatu model aktif, direktif dan didaktik. Penekanannya pada perilaku sekarang bukan pada sikap, wawasan, sesuatu yang lalu, atau motivasi ketidaksadaran (Corey, 1996).

Sementara itu, konseling kelompok merupakan konseling yang diselenggarakan melalui hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok dengan lebih menekankan kepada pengembangan pribadi. Dalam kelompok, para anggota bisa belajar satu sama lainnya mengenai masalah yang dihadapinya. Terapi realitas diharapkan dapat bermanfaat dalam konseling kelompok untuk menangani permasalahan anggotanya yang memerlukan layanan lebih intensif.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, tulisan ini mencoba menganalisis konseling kelompok dalam perspektif layanan bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu ketika layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) berubah dari model segregatif (yaitu model PLB yang diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB) ke arah integratif dan inklusif (yaitu model layanan PLB dalam setting sekolah reguler).

B. Tujuan

Dalam konseling kelompok bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas, bertujuan untuk:

1. Memberikan layanan konseling secara kelompok kepada individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas.

2. mengembangkan potensi yang dimiliki individu berkebutuhan khusus secara optimal melalui layanan konseling yang tepat.

3. meningkatkan keberterimaan diri terhadap dirinya sendiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

C. Sasaran

Dalam konseling kelompok melalui terapi realitas ini memiliki sasaran, yaitu: Siswa dengan kebutuhan khusus yang sekolah pada sekolah reguler, yaitu melalui model integratif dan inklusif (terpadu penuh).

D. Permasalahan

Fokus masalah dalam penulisan makalah ini adalah: Bagaimanakah aplikasi bimbingan kelompok melalui terapi realitas dalam layanan PLB?

Selanjutnya untuk pengembangan, permasalahan diuraikan terhadap tiga hal, yaitu:

  1. Bagaimanakah layanan konseling kelompok kepada individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas.
  2. Bagaimanakah pengembangan potensi individu berkebutuhan khusus secara optimal melalui layanan konseling yang tepat.
  3. Bagaimanakah peningkatan keberterimaan diri individu berkebutuhan khusus terhadap dirinya sendiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

E. Kriteria Keberhasilan

Layanan bimbingan kelompok bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas akan dikatakan berhasil jika:

1. Tergambarkan dan terciptanya hubungan dengan konseli (klien; anak berkebutuhan khusus); hubungan yang penuh kehangatan, pengertian, dan kepercayaan.

2. Terciptanya lingkungan yang memungkinkan siswa (klien) dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

3. Terciptanya kesadaran pada diri sendiri siswa berkebutuhan khusus untuk dapat beradaptasi dengan siswa lainnya pada sekolah integratif dan inklusif (integratif penuh).

F. Strategi Konseling

Pendidikan inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah, mulai dari tingkat TK, SD, SLTP sampai dengan SLTA. Ada dua pertimbangan dilaksanakannya pendidikan inklusi, yaitu; pertama, bagi anak berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebayanya di sekolah reguler; dan kedua, sebagai solusi terhadap kendala sulitnya anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh di desa-desa dan daerah terpencil.

Idealnya layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilaksanakan secara sinergik antara instructional approach dengan psichoeducational approach. Dalam konteks pendidikan di sekolah, psichoeducational approach terwujud dalam layanan bimbingan konseling yang merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Sebagaimana konselor pada sekolah biasa (sekolah reguler), konselor yang bergerak di bidang PLB juga dituntut agar mampu membantu klien mengembangkan diri dalam berbagai hal, bahkan bukan hanya untuk anak luar biasa (ALB) itu sendiri melainkan juga keluarga dan lingkungan dimana mereka berada.

Menurut IDEA (The Individual with Disabilities Educational Act), anak-anak luar biasa perlu dimasukkan atau dibiasakan dengan kurikulum dan evaluasi di kelas-kelas umum. Hal tersebut akan mendorong guru umum dan guru PLB bekerja sama untuk memberikan yang terbaik pada tiap siswa. Pada dasarnya sistem inklusif didasarkan pada filosofis penerimaan dan fleksibilitas (Riley, 2003).

Dalam konseling kelompok yang menggunakan pendekatan Reality Therapy (Terapi realitas) pada mulanya dikembangkan pertama kali oleh William Glasser pada tahun 1965. Menurut Glasser, manusia tidak dimotivasi dari luar, melainkan dari dalam; motivasinya ialah dengan memenuhi kebutuhan atas cinta, pengakuan sebagai anggota kelompok, rasa harga diri, dan kebebasan.

Tujuan terapi dalam pendekatan ini ialah membantu orang agar mempunyai emosi yang kuat dan rasional. Nelson-Jones (1984; 23) menjelaskan bahwa terapi realitas mampu memenuhi kebutuhan secara realistis bukan mengubah dunia nyata supaya sesuai dengan fantasi sendiri (…realistically rather than to sustain their failure identities by changing the real world into their fantasies).

Fungsi konselor yang bekerja berdasarkan pendekatan reality ialah aktif berbicara tenang tingkah laku konseli, mengarahkan perhatian konseli tentang tingkah lakunya, mendorongnya memberikan penilaian atas tingkah lakunya, mendorong menemukan alternatif, membantu mengadakan perubahan tingkah laku konseli.

Terdapat delapan tahapan dalam terapi realitas, yaitu;

  1. Keterlibatan pribadi dalam penstrukturan kelompok
  2. Pemusatan pada perilaku
  3. Pemusatan pada keinginan
  4. Penentuan keputusan nilai
  5. Aktualisasi keputusan dalam perilaku yang bertanggung jawab
  6. Menguatkan komitmen
  7. Menutup pemberian maaf
  8. Mengeliminasi hukuman

G. Evaluasi dan Follow-Up

Untuk memperoleh data yang tepat perlu dipertimbangkan tiga hal, yaitu; jenis data yang akan dikumpulkan, sumber data, dan alat pengumpul data yang tepat. Penilaian alat pengumpul data berkaitan langsung dengan teknik pengumpulan data.

Dalam mengangkat data tentang realitas diri siswa berkebutuhan khusus ada beberapa tes yang digunakan, yaitu;

1. Tes kepribadian; dapat diukur dengan tiga pendekatan, yaitu melalui; pertama, apa yang seseorang lakukan dalam situasi tertentu, dalam hal ini klien disuruh melakukan sesuatu, hal yang dilakukan itu diamati secara cermat dan ditafsirkan; kedua, apa yang seseorang katakan tentang keadaan dirinya sendiri; dan ketiga, apa yang orang lain katakan tentang keadaan diri seseorang.

2. Tes tanggapan; berguna untuk menentukan apakah individu termasuk dalam tipe visual, auditif, atau motorik. Dengan mengetahui hasil tes tanggapan, dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan tipe masing-masing. Hampir sebagian besar anak luar biasa (ALB) bertipe campuran, yaitu masuknya tanggapan melalui mata (indera lihat), telinga (indera dengar), dan gerakan (motorik).

3. Tes fantasi; untuk mengukur daya imajinasi individu, sebagai usaha membentuk tanggapan baru berdasarkan tanggapan yang telah dimiliki.

4. Tes perhatian; untuk mengukur kemampuan testi dalam memusatkan kesadarannya pada suatu objek.

Di samping beberapa teknik tes di atas, dapat digunakan beberapa alat pengumpul data non-tes, diantaranya; observasi (memahami individu dengan cara mengemati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala perilaku yang tampak, dapat dilakukan dengan catatan anekdot, catatan berkala, daftar cek, skala penilaian, dan alat bantu mekanik); angket, berupa daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh responden secara tertulis; serta interviu, mengadakan tanya jawab secara lisan antara pewawancara dengan orang yang diwawancarainya.

Bagi guru sekolah dasar (SD), menghadapi siswa luar biasa bukanlah meruapakan suatu yang mudah dan biasa. Namun ketika ALB hadir di kelasnya, menuntut kemampuan mereka untuk memberlajarkan secara tepat dan akurat. Hal ini sangat tergantung pada kepedulian mereka terhadap siswanya yang luar biasa tersebut. Sedangkan bagaimana wujud kepedulian guru tersebut tergantung pada kondisi-kondisi yang melatar-belakanginya.

Berkenaan dengan pengembangan model sekolah inklusif, yang didahului oleh mode integratif antara anak berkebutuhan khusus, layanan pendidikan, remedial, dan penempatan ALB pada lingkungan pendidikan yang majemuk perlu diperhatikan terutama oleh guru bimbingan. Selanjutnya ALB diharapkan mampu menempatkan dirinya dalam lingkungan dan masyarakat pada umumnya.

H. Contoh Kasus

Pada sekolah (tingkat SMU) integratif, banyak siswa berkebutuhan khusus – dalam hal ini individu yang memiliki gangguan penglihatan – melanjutkan pendidikannya di sekolah umum yang berintegrasi dengan siswa awas/normal lainnya. Secara umum kemampuan sosialisasi dan komunikasi siswa tunanetra tersebut tidak menunjukkan permasalahan yang berarti, namun di masa awal masuk sekolah terlihat anak tersebut menyendiri.

Dalam kasus ini, sebaiknya bimbingan tidak hanya ditujukan kepada siswa tunanetra tersebut, namun bagi siswa yang awas/normal juga perlu diberikan kesadaran dan kemampuan untuk menerima serta melakukan komunikasi dengan siswa-siswa yang memiliki gangguan penglihatan.

Melalui konseling kelompok dengan menggunakan teknik terapi realitas, diharapkan para siswa mampu berkomunikasi baik antar ALB atau bahkan LB denan siswa yang lainnya.

Daftar Rujukan:

Conny Semiawan (2003). “Bimbingan Konseling yang Susila dalam Berbagai Setting”. Makalah. Konvensi Nasional BK Indonesia ABKIN, Bandung.

Corey, G. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (terjemahan). IKIP Semarang Press.

Gazda, G.M. (1984). Group Counseling A Developmental Approach (3rd Edition). Australia: Alyn and Bacon, Inc.

Johnsen, Berit H. and Skorten, Miriam D. (ed.) (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. PPS UPI & University of Oslo.

Mulyono Abdurrahman dan Soedjadi (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Ditjendikti Depdikbud.

Riley, Richard., (2003). “Improving Education: The Promise of Inclusive Schooling”. www.edc.org/urban.

Suhaeri HN. dan Edi Purwanta (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: PPTG Ditjendikti Depdikbud.

Terver, BS., Spagna, ME., Sullivan, J. (1998). “School Counselors and Full Inclusion for Children with Special Needs., Journal (Professional School Counseling) Volume 1 no.3 p. 51-56 Februari 1998, ASCA.

Paradigma Pendidikan Masa Depan

PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.

Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.

Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.

Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

Selasa, 23 November 2010

Hasil Penelitian 2006_Persepsi Mahasiswa Terhadap Layanan Konseling di SD Inklusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan Pendidikan Luar Biasa (PLB) saat ini tidak lagi mengelompokkan anak luar biasa (ALB) berdasarkan ketunaannya, tetapi mereka dilihat atas dasar kebutuhan dan hambatan belajarnya. Cara pandang seperti ini memberi konsekuensi terhadap perubahan istilah yang digunakan dalam menggambarkan subyek didik. Pandangan lama menggunakan istilah ALB yang diambil dari istilah Exceptional Children mengindikasikan bahwa pendidikan mereka dilayani di sekolah-sekolah luar biasa (SLB). Sementara dalam pandangan baru, istilah yang digunakan adalah anak yang berkebutuhan khusus (Children with Special Needs). Istilah ini muncul karena adanya beberapa keberatan atas penggunaan label dan klasifikasi ALB. Marozas dan May (1988: 164) mengmukakan bahwa “label mengakibatkan stigma, stereotip, dan sikap curiga terhadap ALB, dan berpengaruh negatif pada harga diri dan prestasi belajarnya…” Istilah Children with Special Needs telah berhasil membebaskan anak dari label atau stigma kecacatan dan lebih menggambarkan kebutuhannya. Oleh karena itu, layanan pendidikan bagi mereka dilakukan di sekolah-sekolah biasa bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Dengan perkataan lain, pendidikan bagi mereka dilayani di sekolah-sekolah biasa secara inklusif.

Dalam Keputusan Bersama Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Propinsi DKI Jakarta Nomor 105/2003 dan Nomor 34/2003 Tentang “Penunjukkan Sekolah Perintis Pendidikan Inklusi di Lingkungan Pembinaan Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti Propinsi DKI Jakarta” disebutkan bahwa pada tahun pelajaran 2003-2004 dirintis pembentukan Pendidikan Inklusi di lima Kotamadya DKI Jakarta, yaitu; (1) 1 (satu) taman kanak-kanak/TK untuk tingkat propinsi; (2) 1 (satu) SD; (3) 1 (satu) SLTP; 1 (satu) SMU; dan (4) 1 (satu) SMK. Berdasarkan keputusan tersebut terdapat lima SD yang dijadikan penyelenggara pendidikan inklusi.

Sebagai inovasi dalam sistem pendidikan, program pendidikan yang inklusif masih dirasakan asing dan kurang familier. Kondisi seperti ini akan menimbulkan berbagai masalah dalam proses pelaksanaan pendidikannya di antaranya adalah dalam layanan bimbingan dan konseling.

Layanan bimbingan memegang peranan penting dalam mempersiapkan siswa menghadapi masa depannya termasuk melanjutkan ke jenjang persekolahan yang lebih tinggi. Di pihal lain, guru sebagai pengelola inti dalam proses belajar mengajar (PBM) mempunyai tugas untuk melaksanakan layanan bimbingan di sekolahnya, terlepas dari ada atau tidaknya petugas khusus yang disiapkan untuk itu. Guru di SD khususnya, di samping merupakan petugas inti pengelola peristiwa pembelajaran, juga memegang peranan kunci dan menjadi suatu keharusan bagi guru untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan layanan bimbingan.

Dalam proses perkuliahan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dalam hal ini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berhubungan langsung dengan layanan Bimbingan dan Konseling Luar Biasa (BKLB) adalah Jurusan Bimbingan dan Konseling serta Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebagai calon tenaga kependidikan yang berhubungan langsung dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), mahasiswa dari kedua jurusan tersebut perlu memiliki persepsi tentang layanan konseling pada sekolah inklusi.

B. Permasalahan

Pendidikan inklusi (Inclusive Education) sebagai suatu konsep layanan pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus yang baru dan masih diuji cobakan, khususnya di DKI Jakarta, memerlukan pemahaman yang benar dari para calon guru, dalam hal ini mahasiswa. Begitu juga berkenaan dengan layanan konseling luar biasa di tingkat sekolah dasar inklusi. Berkenaan dengan hal itu, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

“Bagaimanakah Persepsi Mahasiswa Jurusan PLB dan BK tentang Layanan Konseling pada Sekolah Dasar Inklusi di Jakarta?”

C. Definisi Operasional

Ada tiga konsep utama dari tema penelitian yaitu persepsi, konseling luar biasa, dan sekolah dasar inklusif.

1. Persepsi, proses terjadinya persepsi dipengaruhi oleh adanya; (1) objek persepsi, (2) indera atau reseptor, (3) perhatian terhadap objek, (4) proses penerimaan rangsang dan respon, (5) sikap, motif, kepentingan, dan minat, serta (6) tingkat pemahaman yang berkaitan dengan kognisi, pengalaman, dan harapan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

2. Anak berkebutuhan khusus dalam studi ini dapat dipahami sebagai Individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus adalah mereka yang secara signifikan berada di luar rerata normal, baik dari segi fisik, inderawi, mental, sosial, dan emosi sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus, agar dapat tumbuh dan berkembang secara sosial, ekonomi, budaya, dan religi bersama-sama dengan masyarakat di sekitarnya

3. Sekolah dasar inklusif dalam studi ini digambarkan sebagai suatu ruang kelas yang menerima semua murid dengan kondisi apapun dalam sebuah keterpaduan. Artinya bahwa semua murid termasuk didalamnya adalah mereka yang mengalami masalah belajar dan kendala fisik, maupun anak-anak berbakat berada dalam satu kelas biasa. (Stainback dan Stainback ,1992; O’Neil, 1995; Sunardi, 1996)

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa PLB dan BK tentang layanan konseling di sekolah dasar inklusi.

Sedangkan secara khusus, penelitian ini berupaya untuk memperoleh gambaran tentang;

1. Bagaimanakah persepsi mahasiswa PLB tentang layanan konseling di sekolah dasar inklusi?

2. Bagaimanakah persepsi mahasiswa BK tentang layanan konseling di sekolah dasar inklusi?

3. Bagaimanakah persepsi mahasiswa jurusan PLB dan BK tentang layanan konseling di sekolah dasar inklusi?

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretik maupun praktik. Secara teoretik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empirik terhadap pentingnya persepsi dari para calon tenaga kependidikan dalam setting sekolah inklusi.

Secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi terciptanya program bimbingan yang efektif diperuntukkan bagi calon tenaga kependidikan bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.

BAB II

ACUAN TEORETIK

A. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian dan Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus atau dalam beberapa istilah disebut juga dengan individu berkebutuhan khusus (Individual with Special Needs) pada umumnya merupakan pergeseran peristilahan dari anak luar biasa. Dalam kesempatan ini dikemukakan pengertian berkenaan dengan anak luar biasa.

Kebanyakan definisi tentang anak luar biasa tida jauh berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk (1972) yaitu bahwa: Anak luar biasa adalah anak yang menyimpang dari anak normal (atau average child) pada karakteristik mental, fisikal, atau sosial sehingga memerlukan modifikasi pelaksanaan persekolahan atau layanan pendidikan luar biasa supaya dapat berkembanga sesuai dengan kapasitasnya.

Senada dengan definisi tersebut, Mulyono dan Soedjadi (1994; 15) menyebutkan bahwa anak luar biasa didefinisikan sebagai anak yang menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata dalam (a) mental, (b) fisik dan neuromotor, (c) sensorik, (d) perilaku, (e) komunikasi, dan (f) tunaganda. Karena adanya karakteristik semacam itu maka diperlukan modifikasi praktek pelayanan sekolah untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal.

Sementara itu, berkenaan dengan klasifikasi dari anak luar biasa terdiri atas (1) anak tunagrahita, (2) anak berkesulitan belajar, (3) anak dengan gangguan perilaku atau gangguan emosi, (4) anak dengan gangguan dalam berbicara dan bahasa, (5) anak dengan kerusakan pendengaran, (6) anak dengan kerusakan penglihatan, (7) anak dengan kerusakan fisik dan gangguan kesehatan, (8) anak cacat berat atau tunaganda, dan (9) anak berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat.

2. Pengertian Pendidikan Inklusif

Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) mendefinisikan inclusion sebagai sistem layanan PLB yang mensyaratkan agar semua anak luar biasa dilayani di sekolah umum terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Sedangkan Stainbackn & Stainback (1992: 34) menggambarkan inklusif sebagai sebuah ruang kelas yang menerima semua murid dengan kondisi apapun dalam sebuah keterpaduan. Artinya bahwa semua murid termasuk didalamnya adalah mereka yang mengalami masalah belajar dan kendala fisik, maupun anak-anak berbakat berada dalam satu kelas biasa.

Berkenaan dengan proses pembelajaran di kelas, Richard Riley (www.edc.org/urban; Juli 2003) dijelaskan bahwa inklusif adalah sebuah usaha agar murid yang luar biasa mempunyai kesempatan yang sama dengan teman-teman sebayanya yang normal. Yang mereka perlukan hanyalah berbagai desain atau pola pembelajaran yang akan memenuhi kebutuhan mereka untuk mencapai kesuksesan dalam belajar dan menjadi orang yang berkualitas. Sistem sekolah inklusif tidak hanya memberikan kesempatan kepada anak-anak luar biasa, tetapi juga kepada murid dari berbagai kalangan dengan berbagai perbedaan dalam bahasa dan budaya, berbeda kemampuan dan lingkungan tempat tinggal, dimana semuanya perlu diakomodasi oleh para guru atau pendidik.

B. Konsep Dasar Konseling

Konseling digunakan oleh berbagai profesi pemberian bantuan (helping professions), misalnya terapis, konselor, rohaniwan, pekerja sosial, penasihat hukum, dan guru pembimbing. Klaim bahwa konseling hanya dimiliki oleh profesi tertentu dengan demikian patut ditolak. Adanya beragam profesi yang menggunakan konseling dalam proses pemberian bantuan dan landasan pengembangan teori konseling berimplikasi pada perbedaan definisi konseling. Sekolah merupakan salah satu tatanan tempat proses konseling dipraktikkan. Atmosfer sekolah tentulah mewarnai macam konseling yang berlaku, sehingga definisi konseling keluarga mempunyai kekhasan tersendiri.

M.D. Dahlan (1985:12) merumuskan konseling dan beberapa kata setara sebagai “usaha mengubah tingkah laku, sehingga cara berfikir, merasa dan kegiatan individu lebih mendekati keinginan dan harapan, lebih diterima dan lebih memberikan kepuasan bagi dirinya serta lingkungannya”. Inferensi dari rumusan ini menyebutkan adanya pemberi bantuan, proses pemberian bantuan, sasaran pemberian bantuan, tujuan pemberian bantuan, dan kriteria keberhasilan pemberian bantuan.

C. Konsep Dasar Persepsi

Menurut Sondang P. Siagian (1989; 101) menjelaskan tiga factor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu; (1) diri orang yang bersangkutan seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan, (2) sasaran persepsi itu sendiri meliputi orang atau manusia, benda, dan peristiwa, serta (3) faktor imitasi dan peristiwa. Sementara itu, Bimo Walgito (1990; 54) menyatakan untuk dapat mengadakan persepsi ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu (1) adanya objek persepsi, (2) alat indera atau reseptor, dan (3) adanya perhatian terhadap objek yang dipersepsi.

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa proses terjadinya persepsi dipengaruhi oleh adanya; (1) objek persepsi, (2) indera atau reseptor, (3) perhatian terhadap objek, (4) proses penerimaan rangsang dan respon, (5) sikap, motif, kepentingan, dan minat, serta (6) tingkat pemahaman yang berkaitan dengan kognisi, pengalaman, dan harapan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Sementara itu, berdasarkan proses terjadinya suatu persepsi, Bimo Walgito (1992: 69), menggambarkannya berikut ini yaitu bahwa tahap-tahap proses persepsi terdiri atas penginderaan (sensasi), perhatian (atensi), dan organisasi (interpretasi).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik deskriptif.

Adapun langkah-langkah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Mengumpulkan informasi teori dan hasil studi yang relevan; pada tahap ini dilakukan pengkajian konseptual tentang pengembangan persepsi khususnya persepsi mahasiswa, serta inklusi sebagai suatu konsep dan kebijakan yang akan diterapkan di DKI Jakarta.
  2. Perencanaan; pada tahap ini diharapkan dapat dirumuskan kisi-kisi pengembangan instrumen penelitian, berupa angket untuk para mahasiswa.
  3. Penyebaran angket terhadap mahasiswa Jurusan PLB dan BK yang duduk pada semester VI (mahasiswa tahun ke 3, yang telah menempuh mata kuliah BK ALB).
  4. Analisis data, dengan menganalisis berdasarkan tiga pengelompokkan, yaitu; (a) data mahasiswa Jurusan PLB, (2) data mahasiswa Jurusan BK, dan (c) data gabungan mahasiswa Jurusan PLB dan BK.
  5. Pelaporan dan desiminasi; dibuat laporan yang disampaikan pada Lembaga Penelitian Universitas Negeri Jakarta atau jurnal yang tersedia.

B. Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, subyek penelitian ini adalah para mahasiswa Jurusan PLB dan BK yang duduk pada semester VI (mahasiswa tahun ke 3, yang telah menempuh mata kuliah BK ALB).

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan angket.

(lembar instrumen, terlampir)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dengan memperhatikan variable penelitian yaitu persepsi mahasiswa. Dengan demikian, pengembangan angket berdasarkan konstruksi teoretis dari persepsi, dengan menggunakan lima pilihan, yaitu; sangat setuju (SS), setuju (S), Ragu-ragu (R), tidak Setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Instrumen yang digunakan dikembangkan berdasarkan kisi-kisi berikut ini:

Kisi-kisi Instrumen:

PERSEPSI MAHASISWA TENTANG LAYANAN KONSELING PADA SEKOLAH DASAR INKLUSI

VARIABEL

DIMENSI

INDIKATOR

JUMLAH

NO. ITEM

Persepsi mahasiswa tentang layanan konseling pada SD Inklusi

Penginderaan

Hakikat BK & Pendidikan Inklusi

5

7,8,9,15,19

Perhatian

Layanan BK & Pendidikan Inklusi di SD

9

2,3,5,6,10,12,14,

17,18

Interpretasi

Penerapan layanan BK di SD Inklusi

6

1,4,11,13,19,20

E. Analisis Data Penelitian

Analisis data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis statistika deskriptif.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan kampus UNJ, yaitu Jurusan PLB FIP UNJ dan Jurusan BK FIP UNJ. Sementara itu, waktu penelitian dimulai dari bulan Oktober 2006 sampai dengan Nopember 2006.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

Penelitian mengenai “Persepsi Mahasiswa tentang Layanan Konseling di Sekolah Dasar Inklusi” melibatkan mahasiswa pada dua jurusan, yaitu jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan jurusan Bimbingan dan Konseling (BK). Dari dua jurusan tersebut, dapat dilibatkan mahasiswa berjumlah 90 orang mahasiswa, dengan rincian dalam tabel berikut;

Tabel 1. Penyebaran data responden

Responden

Jurusan

Jumlah per angkatan

å

%

‘01

‘02

‘03

‘04

‘05

PLB

1

4

30

15

4

54

60

BK

-

3

3

1

29

36

40

å

1

7

33

16

33

90

100

Dari tabel tersebut di atas, terlihat prosentase mahasiswa dari jurusan PLB lebih banyak (60%) dari prosentase mahasiswa jurusan BK (40%). Dalam menentukan responden penelitian, didasarkan bahwa mereka adalah para mahasiswa yang telah mengikuti perkuliahan Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa (BKALB).

Pada jurusan PLB, responden terdiri atas para mahasiswa program reguler. Sementara itu di jurusan BK, responden terdiri atas para mahasiswa program kelas alih program yang mengambil mata kuliah BK ALB secara pilihan.

B. Pengolahan dan Interpretasi Data

Dengan menggunakan analisis data statistika deskriptif, didapatkan beberapa besaran diantaranya;

a. Skor terendah dan tertinggi, serta rentang skor dari butir instrumen, yaitu; skor terendah (20; 1x20), skor tertinggi (100; 5x20), rentang (range) skor adalah 80 (=100 – 20).

b. Batas nilai lulus, ditentukan dengan menggunakan nilai tengah dari skor rentang yaitu 40 (=80 : 2).

Dengan demikian, batas nilai lulus adalah 60 (=20 + 40 atau

100 – 40).

Berdasarkan besaran tersebut di atas, skor yang diperoleh dari responden mahasiswa jurusan PLB berada dalam rentang 66 – 99. dengan demikian secara keseluruhan persepsi mahasiswa jurusan PLB tentang layanan konseling di SD inklusi adalah benar.

Sementara itu, skor yang diperoleh dari responden mahasiswa jurusan BK berada dalam rentang 70 – 99., sehingga secara keseluruhan persepsi mahasiswa jurusan BK tentang layanan konseling di SD inklusi-pun adalah benar.

1. Analisis berdasarkan dimensi dari persepsi

a. Dimensi penginderaan (A1); dari 5 butir item (item no. 7,8,9,15, dan 16), diketahui bahwa persepsi mahasiswa sudah benar. Namun demikian, rerata kelompok dimensi penginderaan mahasiswa jurusan BK (21,42) lebih tinggi daripada mahasiswa jurusan PLB (20,74).

b. Dimensi perhatian (A2); dari 9 butir item (item no. 2,3,5,6,10,12,14,17, dan 18), diketahui bahwa persepsi mahasiswa sudah benar. Namun demikian, rerata kelompok dimensi perhatian mahasiswa jurusan BK (37,97) lebih tinggi daripada mahasiswa jurusan PLB (37,41).

c. Dimensi interpretasi (A3); dari 6 butir item (item no. 1,4,11,13,11,19, dan 20), diketahui bahwa persepsi mahasiswa sudah benar. Namun demikian, rerata kelompok dimensi interpretasi mahasiswa jurusan BK (24,83) lebih tinggi daripada mahasiswa jurusan PLB (23,35).

2. Analisis berdasarkan skor total dari setiap responden, nampak bahwa persepsi mahasiswa dari setiap jurusan memiliki persepsi yang benar mengenai layanan konseling di SD Inklusi. Namun demikian, rerata kelompok dari mahasiswa jurusan BK (84,06) lebih besar daripada mahasiswa jurusan PLB (81,50).

Tabel 2. Rerata kelompok berdasarkan dimensi dari Persepsi.

Jurusan / dimensi

A1

A2

A3

Keseluruhan

PLB

20,74

37,41

23,35

81,50

BK

21,42

37,97

24,83

84,06

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analais data, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi mahasiswa dari jurusan PLB dan BK mengenai layanan konseling di SD Inklusi adalah benar. Hal tersebut terlihat pada skor perolehan dari setiap rensponden yang berada dari batas skor kelulusan yaitu 60. Perolehan skor untuk mahasiswa pada jurusan PLB berada pada rentangan 66 – 99, serta pada jurusan BK berada pada rentangan 70 – 99.

Secara umum disimpulkan juga bahwa persepsi mahasiswa jurusan BK tentang layanan konseling di SD Inklusi lebih baik dari pada persepsi mahasiswa jurusan PLB, terlihat dari rerata perolehan skor kelompok yaitu 84,06 dan 81,50.

B. Implikasi

Hasil penelitian ini telah mampu menunjukkan bahwa pentingnya layanan konseling di SD Inklusi, sebagai suatu rintisan baik bagi jurusan BK dan juga PLB. Dengan demikian, penelitian ini berimplikasi terhadap pemantapan konsep layanan konseling khususnya bagi mahasiswa jurusan PLB melalui perkuliahan BKALB. Sementara itu, bagi para mahasiswa jurusan BK juga berkenaan dengan pemantapan konsep pendidikan khusus dan pendidikan inklusi.

Penelitian ini juga berimplikasi terhadap kurikulum dan tenaga pengajar perkuliahan BKALB, baik bagi jurusan PLB begitu juga bagi jurusan BK.

C. Saran-saran

Berdasarkan hasil penelitian dan implikasi, peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

  1. Kepada para mahasiswa, baik di jurusan PLB maupun di jurusan BK, hendaknya untuk terus meningkatkan wawasan dan kajian mengenai layanan konseling bagi anak berkebutuhan khusus,
  2. Kepada para dosen, khususnya dosen mata kuliah Bimbingan dan Konseling Anak Luar Biasa (BKALB), untuk senantiasa mengembangkan kajian perkuliahan BKALB terutama dalam setting pendidikan inklusi.
  3. Kepada para ketua jurusan PLB dan jurusan BK, untuk senantiasa mengembangkan silabus dan bahan ajar perkuliahan BKALB dengan memperhatikan isu-isu global, terutama tentang model Pendidikan Inklusi.

Daftar Pustaka:

Ahmad Juntika dan Akur Sudianto, (2005). Manajemen Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar, Kurikulum 2004. Jakarta: Gramedia.

Bimo Walgito, (1990). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Gysbers, Norman C., (1995). Evaluating School Guidance Program. ERIC Digest: ED388887.

Myrick, Robert D. (1993). Developmental Guidance and Counseling: A Practical Approach. Second Edition. Minneapolis: Educational Media Coorporation.

Mulyono Abdurrahman dan Soedjadi (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.

Prayitno, dkk. (1997). Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Dasar (SD). Jakarta: Penebar Aksara.

Riley, Richard. “Improving Education: The Promise of Inclusive Schooling” dalam www.edc.org/urban (Maret, 2004)

Siagian, Sondang P., (1989). Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Bina Aksara.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed.) (1993). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Sue, Stubbs., (2002). Inclusive Education: Where There are Few Resources. (Terj,). The Atlas Alliance.

Sunardi (tt). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.

Stainback & Stainback (1992). Controversial Issues Confronting Special Education. Massachutts: Allyn and Bacon.