Rabu, 24 November 2010

KONSELING KELOMPOK BAGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS MELALUI TERAPI REALITAS

KONSELING KELOMPOK BAGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS MELALUI TERAPI REALITAS

(Group Conseling of Individu with Special Needs with Reality Therapy)

A. Pendahuluan

Sistem pendidikan yang bercirikan pengertian terhadap kebutuhan yang berbeda dari inidividu ataupun masyarakat tertentu sebagaimana menjadi arti dari peradaban baru memerlukan keterarahan yang dapat mewujudkan nilai baru …. Shift in global consciusness ikut berkontribusi mewujudkan cooperation masyarakat yang demokratis dan partisipatoris. Ini berarti bahwa pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya.

Mengingat manusia pada suatu pihak memiliki kemampuan yang tiada terbatas untuk berkembang dan pada pihak lain, pembelajaran dapat memberlakukan berbagai metode yang memiliki peluang jamak dan saluran jamak dalam proses pendidikan itu sendiri (mulitiple channel and multi chance of education), maka hak individu untuk berpartisipasi dan belajar sesuai dengan kemampuannya seharusnya dapat terpenuhi.

Tugas Bimbingan Konseling (BK) adalah membuka kemampuan tersembunyi (unlock the hidden capacity) yang pada individu gifted bersifat multipotensial dan memiliki untuk mewujudkan seoptimal mungkin melalui sharing of information untuk menjadi manusia yang bukan saja pintar, tetapi kreatif, kritis, dan memiliki ketahanan malangan (adversity quotient atau AQ) yang tinggi.

Paradigma pendidikan multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan siswa sebagai individual yang belajar bersama dengan yang lain dalam suasana saling menghormati; toleransi pengertian. Namun ini baru terjadi jika setiap individu atau kelompok siswa memiliki identitas diri (selfhood) untuk diakui, diterima, dan dihargai.

BK merupakan upaya untuk membantu siswa agar dapat memanfaatkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin melalui berbagai bentuk layanan, baik layanan yang bersifat individual maupun layanan yang bersifat kelompok. Dalam upaya memanfaatkan potensi yang mereka miliki secara optimal, siswa (klien) senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan mereka yang berkenaan dengan masalah pribadi, sosial, pendidikan, dan karir.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi siswa memerlukan ketepatan dan ketelitian dari guru pembimbing dalam menentukan jenis layanan yang sesuai dengan permasalahan mereka. Efektivitas dan efisiensi dalam membantu siswa merupakan pertimbangan penting dalam memilih layanan yang sesuai. Dilihat dari proses penyelenggaraannya, layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan yang banyak memberikan manfaat baik kepada siswa maupun kepada guru pembimbing, karena selain beberapa orang siswa dapat terbantu, beberapa fungsi bimbingan juga dapat tercapai dalam layanan ini.

Dalam UU SPN Nomor 2/1989 pasal 12 ayat (b) dijelaskan bahwa konseling sebagai komponen pendidikan mempunyai peranan yang besar dalam rangka memenuhi hak peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

BK merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran (subjek penerima layanan), tujuan, kondisi, dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas, walaupun pada akhirnya dalam proses BK terjadi perubahan dalam kondisi maupun metodologi yang digunakan, asalkan tujuan yang hendak dicapai dalam BK baik individual maupun kelompok dapat tercapai.

Tulisan mengenai terapi realitas (reality therapy) akan memperkaya khasanah kajian aplikatif teoretis terhadap layanan BK bagi individu berkebutuhan khusus. Dalam tulisan ini juga diharapkan dapat membantu dalam memahami suatu teori, memahami bagaimana suatu teori digunakan dalam praktek dan bagaimana suatu teori dapat saling melengkapi satu sama lain sehingga benar-benar dapat bermanfaat dalam pengembangan keilmuan.

Pembinaan penyesuaian emosi dan sosial, merupakan hal yang sangat penting sehubungan dengan sejumlah tantangan sosial yang dialami anak berkebutuhan khusus yang memasuki kelas sekolah reguler, antara lain; (1) anak berkebutuhan khusus karena datang dari lingkungan sosial yang miskin, mengakibatkan anak mengalami gangguan belajar atau gangguan emosi yang serius; (2) perbedaan fisik yang secara jelas bagi anak berkebutuhan khusus, mengakibatkan penolakan atau pemisahan sosial; (3) adanya kecacatan yang dialami anak berkebutuhan khusus mengakibatkan ia sendiri merasa tidak sesuai dengan sikap-sikap dari teman-teman yang lain; (4) kurangnya pengalaman dengan teman-teman sebayanya dalam pendidikan umum karena mereka berada di kelas pendidikan khusus, sehingga untuk memperoleh keterampilan-keterampilan sosial dengan teman-teman seusianya sangat terbatas (Tarver, 1998).

Terapi realitas adalah terapi yang didasarkan atas ide empiris individu yang bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan untuk mencapai keberhasilan. Terapi ini berjangka pendek dan memfokuskan pada kekinian, menekankan pada kekuatan seseorang. Terapi realitas dapat diaplikasikan dalam konseling individual maupun kelompok, dan biasa digunakan di sekolah-sekolah, rumah sakit, juga tempat-tempat rehabilitasi termasuk rumah tahanan, rumah-rumah kumuh, dan sebagainya.

Terapi realitas dalam adegan kelompok menantang peserta didik (klien) untuk menguji produktivitas prilaku mereka dan perubahannya, ketika perlu melalui perencanaan dan pencapaian keberhasilan mereka. Terapi realitas adalah suatu model aktif, direktif dan didaktik. Penekanannya pada perilaku sekarang bukan pada sikap, wawasan, sesuatu yang lalu, atau motivasi ketidaksadaran (Corey, 1996).

Sementara itu, konseling kelompok merupakan konseling yang diselenggarakan melalui hubungan antar pribadi dalam suatu kelompok dengan lebih menekankan kepada pengembangan pribadi. Dalam kelompok, para anggota bisa belajar satu sama lainnya mengenai masalah yang dihadapinya. Terapi realitas diharapkan dapat bermanfaat dalam konseling kelompok untuk menangani permasalahan anggotanya yang memerlukan layanan lebih intensif.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, tulisan ini mencoba menganalisis konseling kelompok dalam perspektif layanan bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu ketika layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) berubah dari model segregatif (yaitu model PLB yang diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB) ke arah integratif dan inklusif (yaitu model layanan PLB dalam setting sekolah reguler).

B. Tujuan

Dalam konseling kelompok bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas, bertujuan untuk:

1. Memberikan layanan konseling secara kelompok kepada individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas.

2. mengembangkan potensi yang dimiliki individu berkebutuhan khusus secara optimal melalui layanan konseling yang tepat.

3. meningkatkan keberterimaan diri terhadap dirinya sendiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

C. Sasaran

Dalam konseling kelompok melalui terapi realitas ini memiliki sasaran, yaitu: Siswa dengan kebutuhan khusus yang sekolah pada sekolah reguler, yaitu melalui model integratif dan inklusif (terpadu penuh).

D. Permasalahan

Fokus masalah dalam penulisan makalah ini adalah: Bagaimanakah aplikasi bimbingan kelompok melalui terapi realitas dalam layanan PLB?

Selanjutnya untuk pengembangan, permasalahan diuraikan terhadap tiga hal, yaitu:

  1. Bagaimanakah layanan konseling kelompok kepada individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas.
  2. Bagaimanakah pengembangan potensi individu berkebutuhan khusus secara optimal melalui layanan konseling yang tepat.
  3. Bagaimanakah peningkatan keberterimaan diri individu berkebutuhan khusus terhadap dirinya sendiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

E. Kriteria Keberhasilan

Layanan bimbingan kelompok bagi individu berkebutuhan khusus melalui terapi realitas akan dikatakan berhasil jika:

1. Tergambarkan dan terciptanya hubungan dengan konseli (klien; anak berkebutuhan khusus); hubungan yang penuh kehangatan, pengertian, dan kepercayaan.

2. Terciptanya lingkungan yang memungkinkan siswa (klien) dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

3. Terciptanya kesadaran pada diri sendiri siswa berkebutuhan khusus untuk dapat beradaptasi dengan siswa lainnya pada sekolah integratif dan inklusif (integratif penuh).

F. Strategi Konseling

Pendidikan inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah, mulai dari tingkat TK, SD, SLTP sampai dengan SLTA. Ada dua pertimbangan dilaksanakannya pendidikan inklusi, yaitu; pertama, bagi anak berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebayanya di sekolah reguler; dan kedua, sebagai solusi terhadap kendala sulitnya anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh di desa-desa dan daerah terpencil.

Idealnya layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilaksanakan secara sinergik antara instructional approach dengan psichoeducational approach. Dalam konteks pendidikan di sekolah, psichoeducational approach terwujud dalam layanan bimbingan konseling yang merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Sebagaimana konselor pada sekolah biasa (sekolah reguler), konselor yang bergerak di bidang PLB juga dituntut agar mampu membantu klien mengembangkan diri dalam berbagai hal, bahkan bukan hanya untuk anak luar biasa (ALB) itu sendiri melainkan juga keluarga dan lingkungan dimana mereka berada.

Menurut IDEA (The Individual with Disabilities Educational Act), anak-anak luar biasa perlu dimasukkan atau dibiasakan dengan kurikulum dan evaluasi di kelas-kelas umum. Hal tersebut akan mendorong guru umum dan guru PLB bekerja sama untuk memberikan yang terbaik pada tiap siswa. Pada dasarnya sistem inklusif didasarkan pada filosofis penerimaan dan fleksibilitas (Riley, 2003).

Dalam konseling kelompok yang menggunakan pendekatan Reality Therapy (Terapi realitas) pada mulanya dikembangkan pertama kali oleh William Glasser pada tahun 1965. Menurut Glasser, manusia tidak dimotivasi dari luar, melainkan dari dalam; motivasinya ialah dengan memenuhi kebutuhan atas cinta, pengakuan sebagai anggota kelompok, rasa harga diri, dan kebebasan.

Tujuan terapi dalam pendekatan ini ialah membantu orang agar mempunyai emosi yang kuat dan rasional. Nelson-Jones (1984; 23) menjelaskan bahwa terapi realitas mampu memenuhi kebutuhan secara realistis bukan mengubah dunia nyata supaya sesuai dengan fantasi sendiri (…realistically rather than to sustain their failure identities by changing the real world into their fantasies).

Fungsi konselor yang bekerja berdasarkan pendekatan reality ialah aktif berbicara tenang tingkah laku konseli, mengarahkan perhatian konseli tentang tingkah lakunya, mendorongnya memberikan penilaian atas tingkah lakunya, mendorong menemukan alternatif, membantu mengadakan perubahan tingkah laku konseli.

Terdapat delapan tahapan dalam terapi realitas, yaitu;

  1. Keterlibatan pribadi dalam penstrukturan kelompok
  2. Pemusatan pada perilaku
  3. Pemusatan pada keinginan
  4. Penentuan keputusan nilai
  5. Aktualisasi keputusan dalam perilaku yang bertanggung jawab
  6. Menguatkan komitmen
  7. Menutup pemberian maaf
  8. Mengeliminasi hukuman

G. Evaluasi dan Follow-Up

Untuk memperoleh data yang tepat perlu dipertimbangkan tiga hal, yaitu; jenis data yang akan dikumpulkan, sumber data, dan alat pengumpul data yang tepat. Penilaian alat pengumpul data berkaitan langsung dengan teknik pengumpulan data.

Dalam mengangkat data tentang realitas diri siswa berkebutuhan khusus ada beberapa tes yang digunakan, yaitu;

1. Tes kepribadian; dapat diukur dengan tiga pendekatan, yaitu melalui; pertama, apa yang seseorang lakukan dalam situasi tertentu, dalam hal ini klien disuruh melakukan sesuatu, hal yang dilakukan itu diamati secara cermat dan ditafsirkan; kedua, apa yang seseorang katakan tentang keadaan dirinya sendiri; dan ketiga, apa yang orang lain katakan tentang keadaan diri seseorang.

2. Tes tanggapan; berguna untuk menentukan apakah individu termasuk dalam tipe visual, auditif, atau motorik. Dengan mengetahui hasil tes tanggapan, dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan tipe masing-masing. Hampir sebagian besar anak luar biasa (ALB) bertipe campuran, yaitu masuknya tanggapan melalui mata (indera lihat), telinga (indera dengar), dan gerakan (motorik).

3. Tes fantasi; untuk mengukur daya imajinasi individu, sebagai usaha membentuk tanggapan baru berdasarkan tanggapan yang telah dimiliki.

4. Tes perhatian; untuk mengukur kemampuan testi dalam memusatkan kesadarannya pada suatu objek.

Di samping beberapa teknik tes di atas, dapat digunakan beberapa alat pengumpul data non-tes, diantaranya; observasi (memahami individu dengan cara mengemati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala perilaku yang tampak, dapat dilakukan dengan catatan anekdot, catatan berkala, daftar cek, skala penilaian, dan alat bantu mekanik); angket, berupa daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh responden secara tertulis; serta interviu, mengadakan tanya jawab secara lisan antara pewawancara dengan orang yang diwawancarainya.

Bagi guru sekolah dasar (SD), menghadapi siswa luar biasa bukanlah meruapakan suatu yang mudah dan biasa. Namun ketika ALB hadir di kelasnya, menuntut kemampuan mereka untuk memberlajarkan secara tepat dan akurat. Hal ini sangat tergantung pada kepedulian mereka terhadap siswanya yang luar biasa tersebut. Sedangkan bagaimana wujud kepedulian guru tersebut tergantung pada kondisi-kondisi yang melatar-belakanginya.

Berkenaan dengan pengembangan model sekolah inklusif, yang didahului oleh mode integratif antara anak berkebutuhan khusus, layanan pendidikan, remedial, dan penempatan ALB pada lingkungan pendidikan yang majemuk perlu diperhatikan terutama oleh guru bimbingan. Selanjutnya ALB diharapkan mampu menempatkan dirinya dalam lingkungan dan masyarakat pada umumnya.

H. Contoh Kasus

Pada sekolah (tingkat SMU) integratif, banyak siswa berkebutuhan khusus – dalam hal ini individu yang memiliki gangguan penglihatan – melanjutkan pendidikannya di sekolah umum yang berintegrasi dengan siswa awas/normal lainnya. Secara umum kemampuan sosialisasi dan komunikasi siswa tunanetra tersebut tidak menunjukkan permasalahan yang berarti, namun di masa awal masuk sekolah terlihat anak tersebut menyendiri.

Dalam kasus ini, sebaiknya bimbingan tidak hanya ditujukan kepada siswa tunanetra tersebut, namun bagi siswa yang awas/normal juga perlu diberikan kesadaran dan kemampuan untuk menerima serta melakukan komunikasi dengan siswa-siswa yang memiliki gangguan penglihatan.

Melalui konseling kelompok dengan menggunakan teknik terapi realitas, diharapkan para siswa mampu berkomunikasi baik antar ALB atau bahkan LB denan siswa yang lainnya.

Daftar Rujukan:

Conny Semiawan (2003). “Bimbingan Konseling yang Susila dalam Berbagai Setting”. Makalah. Konvensi Nasional BK Indonesia ABKIN, Bandung.

Corey, G. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (terjemahan). IKIP Semarang Press.

Gazda, G.M. (1984). Group Counseling A Developmental Approach (3rd Edition). Australia: Alyn and Bacon, Inc.

Johnsen, Berit H. and Skorten, Miriam D. (ed.) (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. PPS UPI & University of Oslo.

Mulyono Abdurrahman dan Soedjadi (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Ditjendikti Depdikbud.

Riley, Richard., (2003). “Improving Education: The Promise of Inclusive Schooling”. www.edc.org/urban.

Suhaeri HN. dan Edi Purwanta (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: PPTG Ditjendikti Depdikbud.

Terver, BS., Spagna, ME., Sullivan, J. (1998). “School Counselors and Full Inclusion for Children with Special Needs., Journal (Professional School Counseling) Volume 1 no.3 p. 51-56 Februari 1998, ASCA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar